Hari ini merupakan hari yang sangat tak biasa buatku. Ada beberapa hal terjadi seakan menyinggung urat syaraf keikhlasanku.
Kesempatan pertama. Pagi hari dimulai dengan menyaksikan seorang bapak pedagang sayur yang menggandeng begitu banyak sayuran di atas sepeda motornya dengan beban yang tak dapat kuperkirakan seberapa beratnya. Aku yang kebetulan berada tepat di belakang pedagang itu, dari jarak beberapa meter sudah mulai menyadari bahwa sepeda motor bapak itu mulai oleng ke kanan. Aku sadar bahwa bapak pedagang itu sedang berusaha dengan sekuat tenaga menahan keseimbangan. Namun tenaganya yang tak seberapa perlahan-lahan membuat muatan dagangannya oleng ke kanan dan akhirnya terjatuh.
Aku yang pada saat itu tepat berada di belakangnya hanya mampu melihat tanpa dapat berbuat apa-apa. Aku yang pada saat itu sempat mengemudikan kendaraanku dengan perlahan, hanya mampu berlalu tanpa sanggup menolong, bahkan tanpa sempat menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya. Menatap ke kaca spion pun tidak. Hanya untuk sekedar memastikan apakah bapak itu mendapatkan pertolongan dari orang lain atau tidak.
Sungguh hati ini tak memiliki rasa dan jiwa besar untuk sekedar menolong. Kalaupun tak sanggup menolong setidaknya aku bisa sekedar memberi perhatian dengan berhenti sebentar dan menanyakan keadaannya. Andai saja saat itu tak ada hati kecil yang berkata “Sudahlah, beban berat seperti itu, wanita mana yang sanggup menolong. Biarkan saja pria bertenaga kuat yang menolongnya”. Atau “Hei, sekarang sudah jam berapa ? Kalau kamu berhenti untuk membantunya, kamu akan terlambat tiba di kantor. Selama ini kamu selalu tiba tepat waktu bukan ?”. Akhirnya akupun berlalu dengan rasa penyesalan yang berkecamuk di dalam dada. Andai saja ….
Kesempatan kedua. Saat berlalu di sebuah perempatan, ada seorang anak berseragam SMP melambaikan tangannya. Sepertinya sedang berusaha menghentikan kendaraan yang lewat untuk menumpang. Awalnya aku pikir ia sedang menghentikan sebuah kendaraan umum yang lewat. Tapi ternyata tidak. Ia berusaha menghentikan kendaraanku untuk menumpang ke arah yang sedang kutuju.
Dan apa yang terjadi ? Lagi-lagi aku melewatkan kesempatan untuk menuai amal. Lagi-lagi aku hanya berlalu tanpa sedikitpun menoleh atau sekedar tersenyum padanya menunjukkan permintaan maafku karena tak dapat mengijinkannya menumpang. Lagi-lagi hati kecil meracuni pikiranku dengan berkata “Jangan-jangan ntar aku dirampok ama anak kecil itu. Sekarang kan lagi banyak modus operandi seperti itu. Pura-pura menumpang tapi ternyata tujuannya untuk merampok. Seram ah !!!”
Well, kekhawatiranku sungguh tak salah. Tapi … hellooooo … ini anak kecil, masih SMP, yang ada masih ingusan. Lagian juga kalaupun ngerampok, tenaganya lebih kuat mana ? Aku atau dia ? Ya sutralah … udah lewat ini. Nggak mungkin juga aku mutar balik lagi dan ngijinin dia menumpang. Bakalan telat lah tiba di kantor. Yah … lagi-lagi, kesempatan terbuang percuma.
Kesempatan ketiga. Saat makan di sebuah warung makan, ada dua orang anak kecil masuk dan mengambil tempat duduk tepat di depan mejaku. Beberapa menit kemudian pelayan menyajikan satu mangkok bakso. Kemudian salah satu anak yang badannya lebih besar mulai menyantap hidangan tadi. Awalnya kupikir mereka berdua bersaudara, yang berbadan besar adalah sang kakak, dan yang berbadan kecil adalah sang adik. Ternyata aku keliru. Mereka bukan kakak adik melainkan teman bermain.
Yang membuatku bingung, si adik besar asyik menikmati baksonya tanpa menawari si adik kecil. Aku kasihan melihatnya. Tapi aku pikir mungkin pesanan si adik yang satu ini belum datang. Jadi aku melanjutkan makan sambil memperhatikan mereka berdua. Beberapa saat kemudian aku perhatikan, kok pesanan adik ini belum datang-datang ya ? Padahal makananku saja udah hampir habis.
Iseng aku tanya, ternyata yang bermaksud makan di warung itu hanya adik besar tadi, sedangkan si adik kecil hanya menemani. Tau begitu, aku nawarin si adik untuk pesan satu mangkuk lagi buat dia sendiri. Soalnya aku kasihan liat dia cuma duduk di kursi hanya memperhatikan orang lain sedang makan. Tapi si adik kecil menolak dengan senyum yang malu-malu. Beberapa kali kudesak tapi tetap saja tidak mau. Akhirnya si adik besar selesai makan, si adik kecil hanya memandangi saja dan keduanya berlalu pulang.
Setelah mereka pergi aku mulai berpikir, kok aku nggak keukeh sih nawarin tadi ? aku kan tau kalo adik kecil tadi nolak bukan karena nggak mau, tapi karena malu ? mestinya aku sendiri yang panggil pelayan dan pesan satu mangkok lagi buat dia. Bukannya malah nyuruh adik kecil itu yang pesan sendiri. Kok aku bego banget sih ?
Mungkin hati ini belum cukup ikhlas untuk berbuat baik. Jadinya yang muncul bukan kesan baik hati, malahan jadinya kesan pamer. Duh … hati ini mesti lebih sering dibersihin deh … setan jahatnya masih lebih kuat dibandingin malaikat sucinya.